Politiknya Kyai

Kyai Ma'shum Lasem dan beberapa kyai lain saat bertemu Presiden Sukarno.

Kyai itu bukan cendekiawan yang–seperti ditamsilkan W.S. Rendra–berumah di angin. Pergulatan ilmiah memang menempati satu ruang istimewa dalam peri-hidup kyai, tapi bukan yang paling banyak menyita energinya. Melanjutkan tradisi yang telah dimapankan sejak era Walisongo, sosok kyai hadir terutama sebagai missionaris. Dalam perkembangan kiprahnya, kyai beserta para pengikutnya membangun komunitas tersendiri yang independen, yang oleh Gus Dur digambarkan sebagai subkultur, di mana kyai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Ia mengayomi kehidupan rohani pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala tungkus-lumus duniawi mereka. Ia mewakili, memakelari, dan seringkali harus juga mengkonsolidasikan mereka untuk ā€œmenghadapi dunia luarā€.

Dalam konteks ini, jelaslah bahwa kyai pada dasarnya juga pemimpin politik. Sepanjang sejarah, kyai senantiasa menjadi pengimbang (countervailing elite) terhadap para penguasa keraton. Catatan Sartono Kartodirdjo bahkan lebih menegaskan lagi fungsi kepemimpinan politik kyai itu: pada sekitar 600 kali pemberontakan petani melawan VOC selama abad ke-19, hampir seluruhnya diprakarsai oleh gerakan-gerakan tarekat, dimotivasi dengan seruan-seruan agama dan dipimpin oleh … kyai! Ketika komunitas di sekitar kyai mengalami tekanan dari luar, fungsi kepemimpinannya menuntut untuk tidak tinggal diam.

Semua analisis sosiologi dan ekonomi menyatakan bahwa di bawah rejim kapitalis moderen, komunitas-komunitas lokal semakin tertekan. Politik ekonomi negara justru cenderung mempersempit ruang gerak mereka. Lebih-lebih setelah globalisasi, di mana negara itu sendiri tertekan oleh kekuatan-kekuatan raksasa global, dan komunitas-komunitas lokal kian lantak. Di tengah situasi ini, bukankan peran politik kyai sebagai pemimpin lokal semakin relevan? Bahkan cukup banyak kyai masa kini yang semangat berpolitiknya tumbuh justru karena masih diliputi ā€œromantisme peran kepemimpinan masa laluā€ itu.

Hanya saja, kiprah politik kyai dewasa ini memang menunjukkan tanda-tanda ā€œdekadenā€. Pengaruhnya memudar, langkah-langkahnya rombeng dan tumpul, pilihan-pilihannya ceroboh, dan sasaran-sasarannya remeh. Tak heran jika sebagian orang menjadi jemu dibuatnya, kemudian menyerukan agar kyai-kyai itu berhenti saja dari mengurusi politik. Dekadensi itu berakar pada sekurang-kurangnya sejumlah faktor berikut:

Pertama, wawasan politik kyai belum juga beranjak dari wacana kitab kuning. Dalam wacana kepustakaan klasik pesantren itu, kekuasaan hanya dikaitkan dengan jabatan (imaamah). Maka yang dibicarakan hanya seputar kriteria normatif calon pejabat (imaam) tata-cara mendaulat pejabat (nashbul imaam), dan etika kepejabatan atau panduan akhlaq untuk pejabat. Politik memang soal kekuasaan. Tak ada politik tanpa keterkaitan dengan kekuasaan. Masalahnya, kebanyakan kyai belum menyadari adanya wujud-wujud kekuasaan selain jabatan. Yang tampak dari kiprah politik mereka nyaris seluruhnya berkutat di seputar dukung-mendukung calon pejabat di berbagai cabang dan tingkat pemerintahan. Kyai belum cukup memahami kekuasaan dalam wujud kekuatan kelompok penekan; dalam wujud penguasaan sumberdaya-sumberdaya ekonomi, alam dan manusia; dalam wujud jaringan kepentingan; dan sebagainya. Memahami saja belum, apalagi memainkannya secara kreatif.

Kedua, gerusan peradaban global telah meruntuhkan batas-batas komunitas independen yang menjadi keratonnya kyai di masa lalu. Kini, praktis kerajaan kyai hanya setakat pagar batas pesantrennya saja. Intensitas pergulatannya dengan masyarakat di luar pagar itu berkurang. Kalaupun masih ada ikatan khusus dengan kelompok-kelompok tertentu, posisi sentral kyai lebih berwatak selebritas ketimbang kepemimpinan langsung. Dengan sendirinya penghayatan kyai terhadap kepentingan komunitas lokal pun berkurang. ā€œKepentingan sempitā€ dari lembaga pondok-pesantren miliknya sendiri semakin mendominasi motivasi politik kyai. Kalaupun ada agitasi tentang kepentingan yang lebih luas, tema dan argumennya malah bersifat abstrak seperti: membela agama, anti-komunis, anti-liberal, anti-ahmadiyah, anti-porno, dan sebagainya. Kepentingan riil dari komunitas lokal malah terlewati. Celakanya, gagasan-gagasan abstrak yang akhir-akhir ini digemari sejumlah kyai itu–walaupun mungkin populer di media massa–justru oleh rakyat banyak tak dirasakan relevansinya dengan masalah-masalah nyata kehidupan mereka. Kiprah politik kyai pun kian teralienasi dari lingkungannya.

Ketiga, kemiskinan yang merajalela dan kehidupan ekonomi yang semakin sulit telah merontokkan nilai luhur dan ideologi dari daftar motivasi politik rakyat. Masa depan yang terasa gelap membuat mereka tak acuh pada kepentingan jangka panjang. Barang siapa memberi sedikit kenyamanan untuk hari ini–bukan janji besok, apalagi masa depan yang jauh–kepadanyalah mereka berpihak. Bahkan agama itu sendiri kian tersingkir dari pusat pergulatan hidup mereka. Jangan-jangan merebaknya minat terhadap agama dewasa ini bukan demi agama itu sendiri. Yang terasa justru kesan bahwa masyarakat memburu agama seperti orang sakit mencari pengobatan alternatif: jalan pintas untuk keluar dari kesulitan. Sambutan antusias terhadap seruan bersedekah tidak didorong oleh rasa keagamaan dan solidaritas sosial yang menguat, melainkan oleh motivasi untuk memperoleh ganjaran rizqi yang berlipat dari yang telah dikeluarkan. Kyai dihayati sebagai dukun, politik uang diterima dengan riang-gembira.

Jelas bahwa yang menjadi masalah bukan keterlibatan kyai dalam politik, tapi kualitasnya. Menyerah dan menarik diri dari politik justru berarti putus asa. Tantangan kyai adalah bagaimana memperkaya wawasan, memperdalam intensitas keterlibatan dengan kepentingan-kepentingan kaum lemah, serta mengasah kreatifitas dan ketrampilan dalam memberdayakan dan memanfaatkan instrumen-instrumen politik yang lebih beragam.

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus Presiden Republik Terong Gosong. Pernah menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).