Dua Jenis Orang NU

Dokter Fahmi Djakfar Saifuddin, Allah yarham, kakak kandung Mas Luqman yang saat ini Menteri Agama, seorang dokter dan sahabat yang paling “gemati” (penuh perhatian) terhadap Gus Dur. .

Pak Fahmi telaten memberi perhatian pada pekerjaan Gus Dur, kegiatan sehari-harinya, keluarganya, bahkan penampilannya. Apakah karena ia begitu terpesona oleh kehebatan Gus Dur hingga tergila-gila padanya?

Tidak. Pak Fahmi seorang dokter profesional yang sudah tidak gampang dibikin “gumun” oleh segala gejala makhluk hidup. Kecerdasan Gus Dur yang jauh diatas rata-rata, buat dokter Fahmi normal saja, mengingat latar belakang genetiknya. Keuletan Gus Dur yang tak tertandingi, buat dokter Fahmi cuma hasil logis dari sejarah hidupnya.

Pak Fahmi habis-habisan menggemateni Gus Dur karena Pak Fahmi teramat mencintai Indonesia.

Demi Indonesia itu Pak Fahmi yakin harus mengelola NU. Karena skala NU adalah skala Indonesia.

“Mengatur NU sama halnya mengatur Indonesia. Memperbaiki NU berarti memperbaiki Indonesia!” begitu kredonya.

Karena Gus Dur ada di pusat NU, maka ia pun — di mata Pak Fahmi — ada di pusat Indonesia. Dan demi Indonesia itu, Pak Fahmi harus menelateni Gus Dur. Sebelum terbetik di benak siapa pun, Pak Fahmi termasuk yang paling awal meyakini bahwa Gus Dur akan — dan harus — memimpin Indonesia.

Pak Fahmi melobi kesana-kemari agar Gus Dur — sesudah terpilih sebagai Ketua Umum PBNU– bisa masuk menjadi salah satu anggota MPR-RI. Gus Mus memprotes upayanya,

“Lha iya, ‘Mi… Gus Dur cuma seorang diri apa bisa mempengaruhi anggota MPR ratusan begitu? Salah-salah malah dia yang ketularan”.

“Justru maksudku supaya dia ketularan!” Pak Fahmi ngotot, “aku pengen dia itu paling tidak ketularan bisa pakai jas dan sepatu. Karena suatu saat nanti dia akan membutuhkannya!”

Sebagai dokter, Pak Fahmi tahu betul bahwa anak dan keluarga merupakan faktor pendukung penting bagi kapasitas seorang pemimpin. Belum lagi kalau memikirkan kebutuhan regenerasi. Maka ketika Alissa, puteri pertama Gus Dur, masuk Fakultas Psikologi UGM, Pak Fahmi tak membiarkannya luput dari perhatian.

“Lisa masuk Psikologi itu idenya siapa? Proyeksi kedepannya bagaimana? Sampeyan mengharapkan dia nanti jadi apa?” Pak Fahmi mencecar Gus Dur dengan pertanyaan-pertanyaan tak habis-habisnya.

Gus Dur pun jadi risih campur geli,

“Wong aku yang punya anak kok kamu yang repot to ‘Miii… ‘Mi!”

Sudah pasti perhatian Pak Fahmi kepada NU jauh lebih besar lagi. Selain bertungkus-lumus dengan urusan PBNU, Pak Fahmi berkeliling Indonesia menemui kyai-kyai satu per satu, meniris segala pemikiran para kyai itu tentang NU, ingatan mereka tentang sejarahnya, kegelisahan mereka, harapan-harapan mereka, gagasan-gagasan mereka. Setiap obrolan direkam penuh dalam tape-recorder untuk kemudian didokumentasikan rapi sekali. Pak Fahmi punya satu kamar penuh di rumahnya berisi “perpustakaan” kaset rekaman pembicaraan para kyai itu.

“Selain orang-orang NU yang biasa-biasa saja di sembarang tempat, saat ini ada dua jenis orang NU yang agak langka”, Gus Dur berkata didepan orang banyak suatu kali, “Yang pertama, ‘NU GILA’. Yaitu saya sendiri, karena sering bikin pusing orang banyak. Yang kedua, ‘GILA NU’. Begitu tergila-gilanya pada NU sampai-sampai hidupnya itu yang dipikir NUuuuuuu terus! Ini lho orangnya!”

Gus Dur menunjuk dokter Fahmi.

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus Presiden Republik Terong Gosong. Pernah menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).